Hai kali ini saya mau berkisah
tentang pengalaman bersama orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) atau disabilitas
mental.
Kisah dialami ketika saya yang waktu
itu masih berkuliah S1 Psikologi, saya bersama teman teman berkunjung ke rumah
sakit jiwa Marzuki Mahdi di Bogor. Di kelompok saya, ada seorang mahasiswa laki-laki
yang takut saat masuk ke bangsal. Ia dikerumuni oleh penghuni bangsal yang
membuat dia berkata, “Orang gila tahu ya kita takut, gue disamperin.”. Penghuni
bangsal berkata kepadanya, “Halo ganteng.”.
Penyandang disabilitas mental ada
yang dianugrahi kepintaran.
Lalu, ketika saya mencari subjek
untuk praktikum psikodiagnostika. Ternyata, seseorang yang namanya A (nama
disamarkan karena kode etik Psikologi diharuskan untuk menjaga kerahasiaan)
mengatakan kalau dia mengalami schizophrenia.
Saat saya berkunjung ke rumahnya,
saya diajak ke Rumah sakit ketergantungan obat (RSKO). Disana, saya menemaninya
bertemu dengan psikiater. Ia bercerita kalau sebelum ke psikiater hari ini, ia
menjalani psikotes yang dilakukan oleh psikolog di RSKO, menjalani tes EEG.
Kemudian, saat mengambil obat,
saya sedih karena harus mendengar kalau jatah obatnya dikurangi dan dia tidak
bisa sering ke RSKO karena tidak punya uang untuk transport dan memfoto kopi
surat surat guna menggunakan Jamkesmas.
Suatu hari, dia berteriak teriak
di rumahnya. Saya sedang sholat di kamar, dia berkata, “Takut sama yang ada di
kamar. Jadi saya membisikkan ayat sederhana dan memohon kepada Allah. Iapun tersadar.
Karena merasa hanya itu yang bisa
saya lakukan, maka itulah yang menjadikan alasan untuk mengambil perkuliahan
profesi psikologi. Awalnya saya ingin mengambil Psikologi profesi klinis. Namun,
saya tidak diizinkan oleh papa karena saya ini wanita, nanti kalau mereka
ngamuk bagaimana apalagi praktek kerjanya harus menginap di rumah sakit jiwa.
Namun, inilah yang terbaik. Saya merasa
cocok.
Lalu, masih terhubung dengan
tulisan saya sebelumnya. Sayapun direkomendasi dosen profesi masuk ke komunitas
perduli skizofrenia Indonesia (KPSI).
Sempat kasih motivasi ke orang
dengan skizofrenia (ODS), kasih motivasi ke caregiver
karena saya mengerti sulitnya serta bisa rentan terkena stress juga.
Sayapun ikut psikoedukasi KPSI
karena ingin membantu mengedukasi bagaimana ciri dan mengatasi ODS namun untuk
tahap diagnose dan penanganan selanjutnya maka akan saya rekomendasi ke
psikolog klinis dan psikiater karena semua memiliki peranannya masing-masing.
Suatu hari, saya melihat di
sebuah perusahaan saat sedang pulang menuju ke rumah ada seseorang di borgol
tangannya di gerbang dan didekatnya ada nasi bungkus yang terbuka sambil
dimakan dipinggiran jalan. Jadi saya berpikir sepertinya ini penyandang
disabilitas mental. Saya melaporkan ke anonim berharap dibantu, malah saya
disuruh menghubungi Puskesmas, namun karena belum tahu apakah puskesmas ada
dokter spesialis jiwa atau psikolog klinis jadi hanya bantu share dan bantu itu
saja.
2012
Ini adalah tahun yang mengubah
hidup saya.
Tanggal 4 November 2012 saya
mendengar suara “Tukik, gombal, nafsu, wallahi, sombong, dongeng”. Suara itu
ada tiga, yang satu anak kecil perempuan, yang satu perempuan, yang satu
laki-laki. Suaranya saling bertabrakan cepat dengan membentuk kalimat tidak
jelas.
Suatu hari, saya melihat ada
seorang yang berjalan kaki dipinggir jalan tol. Saya jadi teringat saat dulu
ngawur pernah jalan kaki dipinggir jalan tol bahkan menyeberang bolak balik
terus karena keinginan tidak dituruti karena dibilang dikasih minum tapi
keinginan mereka diturutin dan saya disasarin ke kampung yang gelap akhirnya
saya jadi tidak percaya sama orang yang katanya mau bantu akhirnya saya keluar
dari mobil, berguling dengan tidak berpikir apapun. Mobilpun terhenti. Salah satu
orang turun, “Kami hanya mau membantu.”. Terus setelah tiba sampai tujuan, saya
bertanya “Apakah mereka sudah sholat?”, katanya belum. Terus saya mengawasi
wudlu mereka. Saya mencoba membetulkan wudlunya. Terus saya tiduran karena
sedang halangan, ternyata mereka berpura pura sholat. Mereka memanggil banyak
orang, dan saya dikerumunin oleh banyak laki-laki. Ini membuat saya takut.
Saya mencoba mengsms orang,
mencoba memberitahu, siapa tahu ada yang bantu. Rupanya pulsa saya habis. Semoga
orang itu selamar, soalnya saya pernah mendengar saat kuliah di Simatupang
kalau ada orang yang jalan di tol kecelakaan dan hartanya dijarah. Ya Allah.
Habis peristiwa di tol itu, saya
pulang dengan kaki kiri luka dibagian paha kiri dan berdarah, di pinggang kiri
juga luka dan berdarah. Mengingat ini sekarang rasanya malu deh hehe.
Terus, saya dibawa ke habib dan
dibawa ke RS.Meilia. Saya bertemu psikiater lalu dipindah ke psikolog. Psikolognya
mengatakan saya berwaham. Jadi saya pikir berarti kena yang namanya schizophrenia. Semenjak itu, hidup saya
hancur lebur.
Sebenarnya, hidup saya sudah
hancur, apalagi tahun 2008 dibawa ke Spkj atau psikiater hanya karena sulit
tidur.
Sayapun berinisiatif masuk ke
grup grup disabilitas mental. Namun saya diusir, diblokir.
Salah satu yang nyata diusir
adalah di grup facebook mental health care Indonesia mereka membully saya dengan mengungkit ngungkit
curhat saya, saya dibilang SARA hanya karena bilang kalau di Agama Islam diperbolehkan
seorang anak curhat ke orang tuanya, memaksakan pendapat dan keinginan mereka
jadi pokoknya harus, lalu mereka bangga menjadi orang gila. Yah mental care
apa? Diaturan ditulis boleh curhat tapi saat curhat malah digituin.
Namun, inilah yang terbaik. Hingga
kini halusinasi itu masih terus ada. Sayapun sulit bersosialisasi namun masih
mencoba bersosialisasi walaupun dijauhin dan menjauh.
“Tulisan ini diikutkan dalam
Giveaway Aku dan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang diselenggarakan oleh Liza Fathia dan Si
Tunis”
Sebelumya terima kasih ya udah berpartisipasi dalam giveaway kami. Semoga dengan cara ini kita bisa menyadarkan masyarakat akan pentingnya perhatian terhadap ODGJ.
ReplyDeleteKami juga prihatin dengan cerita kamu, kenapa karena hanya degan curhat bisa dikeluarkan dari group?
Salam sehat jiwa selalu,
Liza & Tunis
ya kaka, amin, terima kasih sudah berkunjung dan komentar disini
Delete