Halo, saya Tyaseta, penulis blog
ini. Sebelumnya, terima kasih sudah bersedia untuk membaca tulisan saya,
apalagi sudah berkomentar disini. Sungguh suatu kehormatan bagi saya
mendapatkan kunjungan dari kakak-kakak semua.
Kali ini, disini, saya mau
menulis untuk lomba blog yang diadakan oleh Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia yang bertema tentang Pelibatan Keluarga dalam
Penyelenggaraan Pendidikan di Era Kekinian.
Keluarga dalam era kekinian,
kalau menurut saya sangatlah memegang peranan yang penting bagi anak (diri
kita).
Seperti salah satu contoh yang saya
baca di https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.
php?r=tpost/xview&id=4648 dialami oleh saudari Laura Adelia Dinda yang
mengalami kecelakaan sehingga menyebabkan luka fisik dan luka mental yang
membuat dia hampir bunuh diri atau marah dengan keadaan menjadi hal yang
dimaklumi setelah rangkaian peristiwa yang dialaminya karena dia yang terbiasa
beraktivitas normal mendadak tak bisa melakukan apa-apa dalam kurun waktu yang
cukup lama.
Dalam buku pegembangan model DPA
bagi pendidikan anak dan remaja yang diterbitkan Direktorat Pembinaan
Pendidikan Keluarga, DPA bisa dilakukan oleh orang-orang di lingkungan Adelia,
khususnya orang-orang yang termasuk ke dalam keluarganya.
Untuk melakukan DPA, pertama,
kita harus melakukan yang namanya memahami situasi, jangan setelah anak
mengalami suatu kejadian baik itu kecelakaan fisik, dipecat dari tempat dia
kerja, mengalami tekanan mental karena terus dijerit-jeritin di lingkungannya
karena sesuatu yang ada pada dirinya seperti dia menjadi penyandang disabilitas
fisik setelah mengalami kecelakaan dianggap aneh, lucu malah itu membuat
keluarga malah merasa harus menyalahkan anak atas situasi yang dialami oleh si
anak sehingga malah melakukan perilaku menyalahkan dan malu.
Orang yang berada di lingkungan
luar dari keluarga inti dari anak, belum tentu bisa menerima keadaan si anak. Mereka
cenderung tidak perduli, apatis, yang penting buat mereka, mereka merasa itu
benar dengan menjeriti anak karena dianggap aneh, dianggap berpura-pura, bahkan
mereka tidak berpikir dampak menertawakan anak, dampak menjeriti gila terus
menerus ke anak.
Coba saja setiap hari dijeriti
gila/pesong/cacat mental. Apa tidak malah membuat si anak menjadi sedih dan
marah? Apa lama-lama tidak membuat si anak malah melakukan agresivitas yang
malah kalau dilakukan malah membuat mereka menjadi semakin yakin kalau
keyakinan mereka selama ini kalau anak itu memang gila.
Apakah itu yang kakak harapkan
dari anak yang diberlakukan gila? Ingin mereka jadi gila?
Sudah begitu, anak sudah berusaha
untuk memberikan penjelasan, atau melakukan perlawanan seperti membalas. Namun,
mereka tetap meneruskan apa yang mereka lakukan. Mereka tidak perduli.
Rasanya seperti sudah jatuh,
tertimpa anak. Akhirnya membuat anak malah merasa kemana keluarganya? Anak akan
merasa down bahkan ada kecenderungan
merasa depresi (ingin bunuh diri).
Anak akan terpikir ‘Kenapa keluarganya
tidak mengerti dan memahami dirinya?’ Sehingga anak akan lari, mending kalau
lari ke lingkungan yang benar.
Kalau malah salah bergaul gimana?
Seperti bergaul di lingkungan yang liar dimana mulut dan tangan yang dengan
entengnya menghina orang lain, bahkan dianggap sebagai suatu hal yang biasa
oleh lingkungan itu, maka anak akan menjadi pribadi penghina juga. Atau yah dia
menjadi pribadi yang pemarah, suka ngedown.
Mending kalau cuma itu, kalau
masuk ke lingkungan preman, atau orang-orang yang kurang baik yang mengajak dia
untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak baik gimana? Seperti mengajak
berhubungan seksual di luar nikah. Apa mau anak kita jadi orang jahat? Apa kita
mau? Apakah terpikir oleh kita akan jadi bagaimana anak kita nanti?
Itulah disini, menurut saya
peranan keluarga sangatlah penting. Sekarang, kita kembali ke cara menangani
anak, apabila anak mengalami kejadian seperti Adelia.
Langkah selanjutnya setelah
memahami anak, cobalah kita sebagai keluarga mencoba untuk menanyakan apa yang
bisa kita lakukan untuk membantu menghadapi masalah yang sedang dihadapi.
Langkah berikutnya, mengenali dan
memberikan perhatian, mendengarkan, kemudian menghubungkan dengan sumber
dukungan lain yang dapat berpartisipasi aktif utuk membantu menyelesaikan
masalah.
Oke, seandainya anak seperti
Adelia ditekan terus, kemudian memiliki kecenderungan mengalami bipolar (rasa
senang yang berlebihan, ide-ide yang tiba-tiba muncul, sering depresi) apa yang
dilakukan oleh keluarga? Tidak usah merasa malu apalagi sampai membuat anak
yang mempunyai mimpi seperti mempunyai keinginan untuk berkuliah di luar
negeri.
Sebagai keluarga jangan malah
dibuat down dengan berkata, “Tuh
lihat, dia saja yang pintar saja pontang-panting”, “Alah, kamu kan mentalnya
begitu, mana bisa!”, “Alah, kamu saja mengendalikan emosimu dengan obat, ga
bisa ngapa-ngapain. Udahlah diem duduk manis di rumah. Kan enak tinggal makan,
tidur dan tidak mengganggu orang lain di luar.”.
Biarlah anak menggapai mimpinya,
berilah dukungan mental dan materi kepada si anak. Meskipun yah, secara materi
ada keterbatasan.
Kalau punya netbook/laptop,
modem, berilah anak fasilitas. Beri dukungan mental kepada si anak, apalagi apabila
anak berhasil menemukan tempat yang mungkin bisa mendukung dia untuk
meningkatkan potensi dirinya seperti misalnya anak menemukan tempat untuk
kursus bahasa Inggris, tempat untuk belajar komputer, atau tempat-tempat lain,
dukung dia.
Dan pada saat mencoba meraih
beasiswa di luar negeri, saya sebagai penulis mengalami kendala dimana tidak
ada tempat yang mau menyediakan pembaca (reader) dan membiarkan tunanetra untuk
melakukan tes Toefl ITP.
Sudah begitu, saya mencoba
menjelaskan duduk perkara ini ke penyelenggara beasiswa dan Universitas, tetapi
mereka tidak mau tahu. Pokoknya harus ada hasil IELTS. Dan ketika hal ini saya ceritakan ke papa,
beliau berkata, “Sadis, tapi ya tidak apa-apa, karena dengan begitu jadi
tantangan kalau memang harus bisa, Tuhan tidak memberikan cobaan yang tidak
mampu dilalui HambaNya”.
Untuk melakukan tes IELTS kan
mahal, butuh dana dua jutaan Rupiah, kalau hanya sekedar mencoba tes atau
melakukan tes tetapi terus menerus gagal kan uangnya sayang. Sudah mana saya
juga mengalami keterbatasan dalam keuangan.
Buat makan saja terbatas, harus
pintar dalam mengatur. Mau keluar ikut acara disuruh berhemat. Namun ini
membuat saya menjadi belajar untuk mengatur uang dengan baik meskipun yah
gitulah pusing ngaturnya hahahaha, dan hikmahnya adalah saya menjadi orang yang
tidak konsumerisme, kalau ada barang-barang yang sedang mode kan jadi tidak
ikut-ikutan. Selain memang saya dari dulu memang kurang suka mengikuti mode
yang sedang tren.
Bicara soal keterbatasan uang,
saya mendapatkan link https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/
index.php?r=tpost/xview&id=919. Rupanya beliau juga pernah mengalami
keterbatasan keuangan.
Ya beliau adalah guru saya. Saya dipertemukan
oleh Tuhan melalui seseorang dimana pada saat itu sedang dalam kondisi
kebingungan, soalnya tidak menemukan tempat yang tepat untuk belajar bahasa
Inggris di tempatnya.
Materi bahasa Inggris memang bisa
didapatkan dengan mudah di Google, namun, saya tidak mengerti dan kesulitan. Saya
pernah mencoba mencari di Google, tapii…… salah satu yang jadi masalahnya
adalah anggaran lagi.
Hah, ya sudah, mau gimana lagi?
Karena tidak bisa tes Toefl ITP,
hal ini membuat Pak Taufiq Effendi membantu memberikan solusi lain yakni memberikan
informasi mengenai tes TOEIC, meskipun pada akhirnya saya tidak bisa menjalaninya
karena suatu hal. Namun, ayah saya tetap mendukung. Beliau meminta saya untuk
memasang target mendapat skor IELTS minimal 7,5 jadi saya patok saja sekalian
minimal 8.
Karena saya mempunyai mimpi yang
besar, walaupun saya tertahan untuk lulus S2 karena tidak bisa melihat cahaya,
tidak bisa melihat kertas alias menjadi tunanetra. Itu tidak menghalangi
semangat saya. Yah, meskipun bisa lulus S2nya, saya akan tetap ingin membuat
sesuatu, melakukan riset.
Memangnya kenapa? Putus asa? Tidak!
Saya jadi sedikit termotivasi karena rupanya di https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=889
pak Taufiq Effendi pernah mengalami putus asa karena tidak bisa sekolah. Sekarang,
beliau sudah dibilang sukses karena diundang menjadi pembicara, mengajar di
lebih dari satu tempat.
Mentang-mentang saya tunanetra
lalu putus asa? Mentang-mentang saya berhalusinasi suara terus tidak bisa
sekolah? Eit tunggu dulu. Dulu, ketika saya masuk S2, saya berhalusinasi suara,
dan disamping itu saya juga ikut belajar
bahasa Inggris di suatu tempat.
Saya bisa belajar kok. Nilai mata
kuliah saya tidak ada yang C dimana kalau mendapatkan C itu wajib mengulang.
Walaupun pada saat ini saya
kesulitan saat mau naik angkot karena pernah minta tolong sama orang malah
dilempar/dipindah tangankan, lama menunggu; saya jatuh-jatuh membuat harus
menahan sakit di lutut karena luka; mengalami stress karena tidak bisa ikut tes
Toefl ITP; sempat mengalami stress berat sampai-sampai cuma mengisi form saja
tidak bisa saya lakukan padahal tinggal ngetik saja bukan masalah formnya dalam
bahasa Inggris haaaah coba ya ada beasiswa di luar negeri yang syaratnya ringan
yah syukur-syukur bisa kuliah di luar negeri dengan beasiswa tanpa syarat heee
ngarep hehehe, memprioritaskan penyandang disabilitas; dan mengalami kejadian
tidak mengenakkan seperti salah satunya mengalami pelecehan seksual.
Dalam perjalanan hidup, anak ada
kemungkinan akan mengalami yang namanya pelecehan seksual dimana anak kecil dan
anak perempuan sering rentan mengalaminya.
Sebagai kelurga, ketika anak
mengeluh terkena pelecehan, ajarkan anak untuk mau berani untuk menolak dengan
baik kepada orang yang melakukan perilaku pelecehan itu, menghindari jalan yang
dilaluinya. Namun, kalau orang itu tetap melakukan aksinya, ajarkan anak untuk
berteriak meminta tolong, berlari kabur, dan sesuatu.
Yap, pelecehan pernah saya alami.
Dari yang supir angkot tiba-tiba
tangannya gitu yang untungnya orang yang duduk di sebelah saya pindah ke
belakang, sehingga saya bisa pindah bergeser dan ketika dia minta, “Jangan
turun dulu, nanti saja, ikut abang dulu” membuat saya menjawab, “Tidak bang,
saya mau turun cepat.”. soalnya kalau turunnya nanti malah diapa-apain.
Ada lagi yang memaksa untuk
menolong mengantarkan saya dengan motornya disertai dengan perkataan kasihan.
Sebenarnya saya tidak suka kalau
ada kata “Kasihan terluncur dari mulut orang”, karena terpaksa akhirnya saya
terima pertolongannya, eh rupanya pada saat sampai tujuan malah tangannya
menjalar terus malah bilang ke tukang mie ayam kalau dia adalah pacar saya. Hah?
Kapan pacaran? Kayak gini jadi pacar? Mana mulut kasar tidak hormat sama
seorang ibu. Pas pulang malah saya dipaksa menghafal nomor teleponnya,
untungnya saat ini saya tidak bisa menghafal jadi ya lupa. Lagipula, buat apa
menghubungi pria seperti itu?
Ada lagi seorang pria tiba-tiba
menghampiri saya. Dia berkata, “Sudah kawin belum?”. Jadi saya jawab, “Belum”,
dia bilang, “Kawin sama saya yuk” yang membuat saya menolak dia dengan berkata,
“Tidak terimakasih”. Tidak kenal main mengajak nikah. Sudah begitu, saya sedang
makan, dia menghampiri saya dengan rayuannya yang bilang, “Cantik…” apa gitu
saya lupa perkataannya dan saya diamkan saja karena kebetulan juga sedang
sarapan. Dan terakhir kalinya dia menghampiri saya karena tiba-tiba ada suara
yang berkata, “Kawin yuk, enak loh”. Hal tersebut membuat saya marah namun
tidak berkata kasar, saya marah soalnya dia pikir apa? Memangnya saya perempuan
apa? Saya bukanlah perempuan yang bisa mudah diajak tidur, dia tidak melihat
apa kalau saya menggunakan kerudung? Semoga
itu terakhir kalinya saya mendengar itu darinya.
Disini, menurut saya peranan
keluarga sangatlah penting, karena orang tua harus mendidik bagaimana anak
perempuan menjaga dirinya karena dulu ibu saya pernah bilang, “Jangan mau
diajak ke rumah atau tempat cowok, jangan mau apabila diajak melakukan itu”, penting
bagi orang tua untuk mendidik bagaimana anak prianya cara bagaimana menghormati
perempuan dengan tidak meminta yang aneh-aneh hanya untuk memenuhi nafsu
birahinya. Untuk menolak, dalam psikologi, perilaku tersebut dinamakan perilaku
asertif.
Rini (dalam penelitian yang
berjudul Perilaku asertif pada remaja awal yang dilakukan oleh Made Christina Novianti
dan DR. Awaluddin Tjalla), yaitu bahwa asertif adalah suatu kemampuan untuk
mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan dan dipikirkan kepada orang
lain namun tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan orang lain.
Yap, kita harus bisa
mengomunikasikan kalau tidak ingin dilecehkan, namun tetap menjaga perasaan
orang lain dengan berkata baik bukan berkata liar, berkata kasar, berperilaku
kasar.
#Sahabatkeluarga, sekian tulisan
ini di blog saya. Apabila ada kata yang kurang berkenan, #sahabatkeluarga saya
mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Keluarga memang sangat berperan dalam pembentukan karakter anak ya Kak? Tulisan yang menarik. Salam kenal..
ReplyDeleteya kak, salam kenal juga k
Deletepetuah orangtua yg kita rasa jelimet baru akan disadari manfaatnya setelah kita dewasa
ReplyDeleteoh
Deletemakasih sharingnya
ReplyDeletesama-sama k
Delete